Wednesday, July 11, 2012

Seperti di Mars, melihat Burma, dan menyendiri



Berkunjung ke sebuah pembukaan festival film ber-genre dokumenter di kota yang saya cintai ini, membuat saya semakin memahami bahwa di kota kecil ini, hal apapun bisa mendapat apresiasi yang baik dari masyarakatnya. Cukup ramai. Dengan semua orang yang berwajah riang, saling menyapa, tertawa, bertukar cerita tentang entah apa. Semua orang terlihat seperti mengenal semua orang di sini. Tetapi itu tidak terjadi pada saya. Saya merasa seperti berada di mars (Sedikit mengutip dari kata-kata rangkaian Jimi Multhazam, tetapi memang itu yang paling tepat untuk diungkapkan sekarang). Tapi saya menikmatinya. Kesendirian di tengah keramaian. Sunyi di tengah hingar-bingar. Menjadi tak kasat mata di tengah euphoria yang sedang terkumandang.


Saya mengenal wajah-wajah itu. Beberapa sering saya temui raut mukanya pada event-event yang saya datangi, yang dikenal sebagai orang-orang penting di bidang mereka. Ada salah satu dari mereka yang sudah semakin ternama, tetapi masih ingat saya. Dia menyapa. Senangnya. Semakin kagum saya padanya.

Acara malam ini dibuka dengan suguhan musik menghanyutkan yang ditampilkan dengan sangat baik oleh Armada Racun yang tampil secara akustik dan tetap dengan sentuhan electro-clash dari synthesizer serta gesekan kasar dari biola klasiknya. Sungguh. Musik seperti itulah yang saya butuhkan di planet mars ini. Terima kasih Tuhan.

Memasuki ruang pemutaran film pembuka festival ini, kami, para pengunjung, disambut oleh sepasang Dimas-Diajeng Yogyakarta yang memang didaulat untuk menjadi pembawa acara. Ini bukan keahlian mereka. penonton lebih tertarik untuk menutupi wajah mereka dengan katalog yang lebar, dan membaca beberapa review film.

Politik. Menjadi tema besar festival ini. Politik. Memang selalu marak dibicarakan. Politik. Tidak pernah habis dibicarakan. Politik. Sebuah topik yang benar-benar sedang membara diserukan di mana-mana. Politik. Berhubungan dengan sistem pemerintahan pada sebuah negara. Berbicara tentang politik sekarang ini sama dengan berbicara tentang ketimpangan di sana dan di sini. Rakyat yang tidak puas atas kinerja dan kebijakan pemerintahnya.

Dokumenter dengan titel 'Burma VJ' diputuskan sebagai film pembuka. Sebuah rangkaian footage yang direkam secara sembunyi-sembunyi oleh jurnalis Democratic Voice of Burma (DVB) yang mempertaruhkan keselamatan jiwa dan nyawa mereka demi meliput aksi protes besar-besaran yang dilakukan rakyat Burma. atas satu konflik yang tak kunjung selesai. belasan tahun. para Bhiksu turun ke jalan pada akhirnya. Atas nama pembelaan pada rakyat kecil semuanya. Para Bhiksu yang tabu untuk dicaci, malah ditangkapi, dipukuli, dibunuhi. Para bhiksu telah mati. apa yang terjadi? mereka (para reporter DVB) pun akhirnya hilang. ditangkapi. dipukuli. mungkin juga dibunuhi. semua ini demi. demi mempertontonkan kepada dunia betapa tidak adilnya pemerintahan mereka pada rakyat di sana. 

Dan setelahnya, Armada Racun kembali mengalun. Aku mulai menemukan beberapa wajah dan suara yang kukenal. Menyapa. Sedikit berbicara. Ambillah katalog festival ini disana, kataku. Kemudian mereka berlalu. Aku hanya beralasan padahal. Agar aku bisa sendirian.

Mungkin seseorang yang memandang akan melihat saya dengan tatapan aneh. Ada seorang perempuan memakai rok merah macam klit Skotlandia, berbaju lengan panjang hitam dengan gambar siluet kucing sebesar punggungnya, memakai kacamata merah maroon, duduk sendirian di pojokan, di bawah pohon beringin dengan tatapan yang tidak lepas dari layar telepon genggamnya yang pintar. Dan saya tidak peduli. Jari-jari saya masih asik mengetik.




*terima kasih pada dia yang mengundangku datang malam itu.


ini link untuk trailer film dokumenter Burma VJ : http://www.youtube.com/watch?v=V08EBWQLzyU



----
archive, ditulis pada 9 December 2009



No comments:

Post a Comment

jauh

duduk diam memandangimu yang berada di luar jarak pandang merekam lamunmu yang tak dapat kubaca, dan diammu yang tak dapat kuterka. seny...