Tuesday, November 8, 2011

Jogjakarta yang padat acara dan Hujan yang terlambat turun

mulai dari bulan juli hingga akhir oktober lalu, matahari seperti membuka cabang yang banyak serta mengadakan diskon besar-besaran. Jogja sangat panas. sedangkan saya yakin seharusnya hujan sudah mulai turun dari awal oktober. yang saya pikirkan, ini adalah dampak dari perubahan iklim dunia, ataukah pawang-pawang hujan jogja yang sakti sedang giat-giatnya bekerja?

saya lebih yakin pada pemikiran saya yang kedua. semua pawang hujan di jogja sedang berjuang tanpa mengenal lelah memohon pada awan untuk tidak dulu berkumpul membentuk sebuah komune yang bisa menghasilkan rintik-rintik air dan menghambat semua agenda. Jogja sedang mempersiapkan diri untuk sebuah perhelatan akbar.

bukan konser megah yang menghadirkan band rock papan atas internasional. Jogja berulangtahun yang ke 255 Oktober ini. semua warga Jogja -- pemerintah dan rakyat Jogja, tidak akan tinggal diam. Festival digalangkan. Jogja Java Carnival adalah salah satu festival tahunan yang rutin diselenggarakan menyambut peringatan ulang tahun kota Jogja. rangkaiannya digelar di sudut-sudut kota Jogja setiap hari. selama hampir dua minggu. jelas saja para pawang hujan tidak akan mengijinkan langit menangis terlalu awal.

bukan karena Opera Van Java menggelar live show di pelataran Candi Prambanan. Keraton punya hajatan besar. Pernikahan agung putri bungsu Sultan digelar berdekatan dengan peringatan ulangtahun kota Jogja. seluruh rakyat Jogja ikut menyibukkan diri, dan tidak mau ketinggalan sedikit pun melewatkan berita perhelatan besar ini.

ribuan orang memenuhi ruas jalan Malioboro. saya menduga, apa yang akan dikatakan Jalan Malioboro ini seandainya ia bisa berbicara? betapa ia telah menjadi saksi ribuan sejarah yang terjadi di kota yang semakin padat ini. kepala-kepala berebut celah untuk menyaksikan secara langsung pengantin yang berbahagia yang menuju Kepatihan dengan kereta kuda pusaka Keraton. sungguh seperti di kisah-kisah puteri anggun yang dulu sering saya baca ketika masih kecil. dipinang pangeran dan hidup bahagia selamanya. 

saya, seperti semua orang, ingin mendapatkan tempat strategis agar bisa melihat dengan kacamata saya, melintasnya sang kereta pusaka. namun sebelum mencari tempat, otak pesimis saya sudah bekerja. membayangkan badan kecil saya tergencet kerumunan. sesak napas karena oksigen pun akan jadi rebutan. belum lagi desakan orang-orang yang berusaha lebih dulu mengerubuti 200 gerobak angkringan yang disediakan gratis oleh Keraton. akhirnya saya memilih menunggu pawai di sebuah kafe di atas Mirota Batik, dengan harapan bisa sedikit mengintip sejarah yang akan terjadi.

menjelang jam 4 sore -- terlambat 1 jam dari yang sudah di jadwalkan, rombongan pengiring pengantin lewat menerobos lautan manusia yang tumpah ruah ke jalanan dan tidak peduli pada pagar batasan. susah payah kuda-kuda itu membelah kerumunan hingga sampai di gerbang Kepatihan. saya tidak bisa melihat dengan jelas, tapi saya cukup senang, melihat rakyat yang antusias mengiringi perjalanan kereta pengantin, dan saya adalah bagian dari mereka. 

beberapa jam setelahnya, rintik-rintik halus mulai turun, seakan langit memberi restu kepada kedua mempelai. 

Jogja, hingga saat ini, langitnya selalu mendekap erat matahari. seolah membiarkan matahari beristirahat karena mungkin ia kelelahan bekerja sepanjang tahun. komune awan abu-abu menjadi payung yang teduh untuk jogja dan rakyatnya.

semua orang menyalahkan hujan karena ia menghambat segala aktifitas. mereka salah besar. yang menghambat aktifitas mereka adalah mereka sendiri. hujan hadir untuk memberkahi bumi. menyirami aspal-aspal yang kering. menyejukkan pikiran yang kerontang. hujan tidak bermaksud menghambat apapun.

dan kini, aktifitas saya lewatkan bersama hujan yang menemani perjalanan.

selamat datang, hujan :)

Saturday, August 6, 2011

KITA ADALAH BATU




di luar hidup sialmu
di luar sisi tubuhmu
di luar yang kausentuh, di luar hanya sepi, membisu.

di luar kisah sedihmu
di luar sesak napasmu
di luar yang kau buru
di luar igau mimpi burukmu

bernapas di celah waktu
dan ruang yang mencekikmu

karena kita adalah batu


setiap awal musim kita siapkan segelas rasa sakit dan kehilangan..

setiap awal musim kita siapkan semangkuk rasa perih dengan kebencian
kita kan terjaga selamanya
...selamanya...






photo taken from : http://www.flickr.com/photos/maslambang/

Sunday, July 31, 2011

Sepatu Tuhan

Seorang sersan muda sedang mencegah tersangka merebut tas kecil dari meja ketika Letnan Sardi masuk. Wibawa yang bergelantungan di pundak Sang Letnan menghentikan keriuhan kecil di ruang interogasi tanpa sedikit pun tenaga tersia-sia. Si Sersan melepaskan genggamannya, membiarkan tersangka merebut dan memeluk tas itu erat-erat. Keadaan terkendali.

Letnan Sardi duduk dengan tenang dan menatap tajam ke depan. Sepotong masa lalunya kini menggumpal di seberang meja, duduk di kursi sebagai tubuh rikuh si tersangka. Sardi ingat.

Tersangka itu sahabatnya. Dulu. Sahabat sekaligus, diam-diam, seteru.

Dalam setiap permainan, mereka biasa saling bahu-membahu. Orang-orang mengenal keduanya sebagai ujung tombak kembar PS. Gunung Terang. Ujung tombak kembar yang tajam.

Sersan itu melaporkan keadaan. Mengeluhkan, lebih tepatnya. Tersangka tak mau bicara. Segala cara sepertinya percuma. Sardi menatap penuh selidik pernyataan anak buahnya, mencari maksud di balik pernyataan “segala cara”.

Ditatap seperti itu, Si Sersan merasa jengah. Ia beranikan diri minta pamit. Sardi hanya bertanya, “ke mana?” untuk menyatakan sikapnya. Intonasi pertanyaan itu terang artinya bagi Si Sersan. Permohonannya ditolak.

“Pelajari caraku menyelesaikan kasus ini.”

Sersan mematung tak jauh dari pinggir meja, menyembunyikan sikap meremehkan yang memenuhi lambungnya. Sersan itu percaya, perbedaan keduanya sebagai polisi hanya soal di mana pangkat tersemat. Lengan dan pundak bagaimanapun hanya dipisahkan ketiak, tak perlulah bersikap congkak.

Letnan Sardi bukan tak dapat merasakan sikap meremehkan ini, sebagaimana seluruh bawahannya menyimpan sikap serupa. Pagi itu, ia tak peduli, memilih tenggelam di berkas catatan di depannya.

Asan. Laki-laki. Menikah. Wiraswasta. 29 tahun. 32, ralat Sardi diam-diam. 3 tahun itu diambil untuk sebuah pertandingan tarkam sekota, 13 tahun yang lalu. Waktu itu, setiap peserta harus berumur kurang dari 18. Ia tahu, sebab 3 tahun itu juga diambil darinya.

Sardi melihat ke arah cermin di sisi ruangan, ke arah bayangannya sendiri, sebelum kembali ke Asan. Mungkin usia bekerja dua kali lebih kejam pada Asan, ia tampak ringkih dan kering.

Kebanyakan orang tentu heran bagaimana orang seringkih ini bisa mempunyai kekuatan untuk melakukan kekejian. Asan diduga keras adalah pelaku pembunuhan Raman Jereng, bandar judi besar kota ini. Tangan kecilnya telah menghantamkan batu ke tengkuk Raman, menyiramkan bensin, lalu membakar korbannya. Visum percaya bahwa korban belum tewas ketika api menyala.

Sardi menoleh ke arah Sersan, bertanya apa isi tas tersangka.

“Sepatu bola, Pak.”

Sardi menatap Sersan lekat-lekat. Sersan sempat mengira atasannya terheran-heran, sebagaimana dirinya tadi. Tapi mengapa Letnan Sardi tersenyum? Apakah akademi mengajarkan untuk menutupi perasaan heran dengan tersenyum?

Sardi ingat sepatu itu.

13 tahun yang lalu, sebelum kenal tentara, Raman Jereng cuma bandar kelas kampung. Ia masih mengotori tangannya untuk menggosok-gosok pemilu kades atau pertandingan sepak bola.

Sore itu, seusai pertandingan pertama kompetisi tarkam sekota, Raman datang membawa dua pasang sepatu. Sepatu pertama, yang kemudian dipakai Sardi, sebenarnya cukup baik. Kulitnya nomor satu, jahitannya kuat, tiga garis putih membuatnya tampak gagah. Sepatu Kaisar Bekenbewer, kata Raman.

“Sepatu ini bikin Jerman juara 74,” kata Raman. “Lu mau?” Sardi muda mengangguk. Nantinya, keputusan ini ia sesali seumur hidup.

Raman Jereng selalu punya cerita untuk apa saja. Termasuk untuk sepatu-sepatunya. Sepatu kedua, yang dihadiahkannya pada Asan, punya cerita lebih seru.

“Pernah dengar tangan Tuhan?”

Raman menyodorkan sepatu kedua ke tangan Asan. Kulitnya sama nomor satu, jahitannya sama kuat. Bedanya, sepatu itu bergambar macan kumbang sedang menerkam. “Sedang terbang,” ralat Raman. Ceritanya belum selesai, masih akan lebih seru.

Raman mengulangi pertanyaan yang sebenarnya tak perlu. “Pernah dengar tangan Tuhan?” Asan berbinar-binar, tak sadar mulutnya menganga. Sardi mengangguk berkali-kali.

“Itu sepatunya.”

Asan memandangi sepatu itu tak percaya. Sepatu yang biasa dipakainya adalah sepatu sobek pinjaman Sardi. Salah satu sepatu terburuk dari koleksi anak sulung juragan kopi itu. Kini ia punya sepatunya sendiri. Tak tanggung-tanggung, sepatu Tuhan.

Sardi mengulangi kalimat yang ia dengar dari bapaknya. Komentar mengenai betapa musyriknya julukan Tangan Tuhan. “Hensbol itu tangan Setan.” Sardi bicara sendiri. Asan sibuk menatapi sepatu, Raman sibuk menatapi Asan.

Sepanjang kompetisi tarkam sekota, sepasang ujung tombak kembar Gunung Terang mengamuk, demi membentang cita-cita tinggi-tinggi. 7 gol untuk sepatu Kaisar, 13 untuk sepatu Tuhan. Begitu pun, Asan sebenarnya cukup membuat satu gol saja. Satu yang mengatasi gabungan seluruh gol di kompetisi ini.

Di perempat final, Gunung Terang tidak mengendurkan serangan sekalipun sudah memimpin 1-0. Dalam satu skema serangan, posisi para pemain tiba-tiba meniru skema gol kedua Argentina di gawang Inggris, sebulan sebelumnya.

Dari tengah, Asan lepas sendirian. Dua rekan termasuk Sardi mengikuti dari sayap. Asan terus menggempur. Satu pemain terlewati, lalu satunya lagi. Pemain ketiga mengira cukup dengan bermain posisi, tapi malah kalah lari. Pemain keempat memapasi, mengincar kaki, tapi Asan meliukkan tubuhnya dengan ajaib. Pemain keempat ini bermaksud meniru meliuk tapi malah kehilangan keseimbangan, terpelanting. Pemain kelima menghadang dengan emosi tinggi, sudah terkalahkan jauh sebelum berhadapan dengan Asan. Di depan kiper, Asan, dengan macan di sepatunya yang entah menerkam atau terbang, menyontekkan bola ke sudut kiri. Diego Asando Maradona, 2-0, legenda kampung kami.

Setahun setelah gol itu, Sardi mengutuk diri. 7 gol dan 5 umpan matang, tak seorang pun akan ingat. Bagaimana mungkin? Orang-orang cuma ingat bahwa di partai semifinal, Gunung Terang dihajar Tunas Harapan 3-0. Kalau saja Asan main di partai semifinal, ceritanya pasti lain. Kalau saja di malam sebelumnya tak ada pengendara motor krosboi melintas, kalau saja bukan Asan yang tersuruk di kolam Haji Sanusi.

Sardi tak mungkin bisa memaafkan kekalahan ini. Pencari bakat dari dua tim galatama, memasang wajah bosan di partai semifinal, mencoret sepasang nama tombak kembar Gunung Terang dari catatan mereka. Suatu keputusan buruk yang mengakibatkan Indonesia gagal juara dunia.

Mengubur cita-cita, Sardi mendaftar akademi polisi. Begitu pun, ini gagal mengubur sepotong curiga. Curiga ini terlalu meyakinkan.

Di sore sehabis gol istimewa Asan diciptakan, Raman datang, khusus mencari Asan. Keduanya bercakap di pojokan, sembunyi-sembunyi. Dalam percakapan itu, wajah Asan cepat berubah dari senang menjadi tegang, lalu cemas dan ketakutan.

Malam harinya, jendela kamar Sardi diketuk dari luar. Itu ketukan Asan. Sebentar kemudian mereka mengendap melintasi malam menuju rumah Raman Jereng. Di akhir perjalanan pulang, alasan Asan mengembalikan sepatu Tuhan tak juga terang. Sepanjang jalan Asan tak bersuara. Sekali-kalinya ia bicara, hanyalah ketika mereka berpisah. Itu pun semakin tak menerangkan apa-apa.

“Aku tak punya sepatu lagi.”

Sardi berjanji meminjamkan salah satu sepatunya.

“Yang biasanya saja.”

Sardi mengangguk.

Sepatu itu tak jadi dipinjamkan, sebab besok malamnya Asan ditabrak lari. Penanganan rumah sakit yang buruk menghentikan karier sepak bolanya. Persahabatan kedua ujung tombak itu juga turut surut. Asan selalu menghindar.

Tak lama sesudah sembuh dan menerima takdir kakinya pincang, Asan bekerja untuk Raman. Lebih tepat, Raman datang menawarkan pekerjaan. Setelah itu, 13 tahun jalan bergegas, tentara mengubah Raman menjadi bandar kaya, tapi tentu tidak jongos-jongosnya.

Asan menikah, sebentar. Istrinya kabur dengan seorang penyanyi dangdut, bukan dari Asan yang sudah mengecewakan sejak minggu pertama, tapi dari seorang anak laki-laki hiperaktif hasil pernikahan mereka. Anak laki-laki itu kini seusia putra Sardi. Keduanya kini sudah tergila-gila bermain bola.

13 tahun, pikir Letnan Sardi. Kenapa terlalu lama?

Seperti 13 tahun terakhir, kini pun Asan menghindarinya. Ia menunduk. Mereka berdua duduk berhadapan, namun tak akan ada seorang pun yang mampu mengendus gelagat lembut bahwa keduanya saling mengenal. Apalagi mengendus bahwa keduanya sempat berpapasan dalam kesempatan yang lain, sebelum ini. Seminggu lalu, di pinggir suatu lapangan sepak bola, menonton pertandingan dua kelompok bocah, keduanya duduk berdekatan. Tidak, tidak seorang pun bisa menduga. Tak seorang pun akan mengetahui, sebab bahkan Sardi dan Asan telah berjanji untuk melupakan perjumpaan ini.

Kesempatan, cetus Sardi dalam hati, menjawab pertanyaannya sendiri. Itulah alasannya. Setiap dendam butuh waktu. Tentu, tak salah lagi. Sardi telah bergumul dengan para kriminal, ia paham watak dasar mereka. Keliru jika memandang mereka sekadar mengandalkan urat nekat. Kriminal tertangguh adalah mereka yang paling bisa menciptakan kesempatan. Bukan, bukan sekadar kesempatan untuk melakukan kejahatan. Paling penting adalah kesempatan untuk merancangnya. Raman Jereng sadar benar tentang ini.

Bandar judi itu cukup licik untuk merawat Asan, terutama karena ia tahu pada gilirannya kejahatannya akan terungkap. Raman bersiasat, jika akhirnya Asan mendapati bahwa kecelakaan di kolam Haji Sanusi terjadi atas perintahnya, pengawasan ketat akan mencegah Asan membalas dendam. Berada dalam kendali berarti mempersempit kesempatan Asan merancang apa pun bagi diri sendiri. Sempit kesempatan sempit pula keberanian. Itulah resepnya.

Resep yang baik, pikir Letnan Sardi, tapi belum tentu manjur. Bagaimana jika ada orang lain, peristiwa lain, yang memungkinkan suatu kesempatan tercipta. Raman Jereng bisa saja terus mengawasi Asan, tapi ia tidak bisa mengawasi semua hal. Ia tidak bisa memasukkan semua orang ke dalam kantongnya. Ia bisa berusaha, tapi luas kantong ada batasnya.

Sardi membayangkan wajah Raman ketika terkejut mendapati api menjalar di atas kulitnya. Apakah ia mempunyai kesempatan berteriak?

Asan duduk dengan kepala terus menunduk. Apakah sahabat kecilnya itu sempat ragu? Apa kini ia menyesal? Ia tampak resah. Ya, seharusnya ia menyesal. Penyesalanlah yang membedakan antara dirinya dan kriminal semacam Raman. Yang membedakan kita dengan dia, kata Sardi diam-diam. Menjalankan kesempatan bisa berarti berkhianat pada hati kecil.

Hati kecil, ia tahu banyak tentang hal ini. Usaha kopi bapaknya tidak begitu baik ketika ia didaftarkan ke akademi polisi. Padahal, harga sogok menyogok begitu tinggi. Semenjak itu, hidupnya tergadai. Mungkin bahkan sejak sebelumnya. Sejak sepatu Kaisar diterimanya. Raman Jereng tak merasa cukup dengan bekingan tentara, ia ciptakan pula kesempatan antara dirinya dan seorang calon polisi muda dari Gunung Terang.

Raman Jereng dan seluruh kesempatan-kesempatan yang diciptakannya, semua pantas mati. Sardi tak bisa membayangkan berapa banyak orang terselamatkan, berapa banyak kesempatan kejahatan terbungkam.

Sardi tersenyum, menyimpulkan. Tak ada akhir yang paling tepat bagi seorang penjahat selain mati di tangan senjatanya sendiri. Dua buah senjata yang memakan tuannya sendiri. Adapun jika orang lain menyangka satu, itu tak lain karena kebanyakan orang cenderung lebih mengingat siapa yang bikin gol. Sardi telah berdamai dengan dirinya sendiri. Tak ada buruknya memberi umpan matang. Lagipula Kaisar memang dikalahkan Tuhan di Meksiko 86.

Letnan Sardi bersiap mengenyahkan kasus ini dari hadapannya. Ia menoleh ke arah sersan, bertanya “Sudah paham?”

Sersan menggeleng, terheran-heran. Apa yang bisa dipahaminya, dipelajarinya? Sejak tadi Letnan Sardi hanya membaca.

“Itulah yang membuat kau sersan dan aku letnan. Motif, buruh yang tertindas, majikan yang kejam, buruh balas dendam. Sederhana. Bukan pembunuhan berencana. Laki-laki ini terlalu pengecut untuk itu.”

“Bensinnya, Pak?”

“Baca lagi arsipnya.”

“Sepatunya?”

“Ini bukan cerita detektif. Kecuali kalau kau menganggapnya begitu.”

Sersan menggeleng, lemah.

Letnan Sardi, menenteng tas kecil, berjalan santai ke arah tempat parkir mobilnya. Di dalam mobil, dua orang bocah tersenyum riang menyambutnya. Bocah laki-laki yang duduk di depan, ini putranya. 7-8 tahun lagi ia akan merajalela dengan sepatu Kaisar. Bocah yang duduk di belakang, anggota baru keluarganya, masih sering terselip lidah memanggilnya dengan sebutan Oom, bukannya Ayah.

“Ini dari bapakmu.” Putra angkatnya menerima tas itu dengan canggung, tak berani membukanya.

“Apa isinya?” Sergah putranya sendiri, penasaran.

“Pernah dengar tangan Tuhan?”

Keduanya menggeleng.

Sepanjang jalan, Letnan Sardi bercerita tentang Piala Dunia 86. Satu gol terkenal Maradona adalah gabungan dari sedikit kerja kepalanya dan sedikit kerja tangan Tuhan, tapi itu belum seberapa. Di perempat final, Asan, sahabatnya, melewati lima pemain sebelum menundukkan Peter Shilton. Di semifinal mereka dikalahkan PS. Tunas Harapan 3-0. Tak apa. Setiap cita-cita berhak mendapatkan kesempatan kedua, sebagaimana Indonesia berhak juara dunia.

“Gol kedua itu, ini sepatunya.”

---

Sepatu Tuhan by Ugoran Prasad

taken from http://cerpenkompas.wordpress.com/2007

ugoran prasad (18 November 2007)

Hantu Nancy

Kebon Sawah dipaksa mengingat, pernah di salon itu, duduk di depan meja rias dan menemukan bayanganmu sendiri artinya kamu akan segera ditangani. Nancy akan menghampirimu, berdiri di belakangmu, embus napasnya lembut mencapai tengkukmu. Setelah Nancy mati, Zulfikar masih duduk di sana, menunggu embus napas mencapai tengkuknya sebab yakin gilirannya pasti.

Pasti sebab pembantaian Nancy terlalu mengerikan, kematiannya terlalu keji. Lima orang memberangusnya, mengikatnya di kursi tempat pelanggan salon biasanya duduk. Dari kursi itu Nancy bisa menemukan bayangannya sendiri. Sehari-hari cermin di hadapannya biasa memantulkan berangsur wajah para pelanggan menuju kecantikan, malam itu berangsur wajahnya menuju kematian. Dua di antara lima pemberangus mencukur rambutnya serampangan. Satu yang lain menyumpalkan potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan satu terakhir sekadar menutup hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut di kepalanya habis, Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa Nancy kehabisan napas, versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi kemungkinan Nancy mati karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk. Tersumpal rambut, mulutnya terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot, matanya melotot, nyalang dan ngeri. Zulfikar, pemberangus kelima, di pojokan, gemetaran. Melihat bangkai Nancy, penyesalan Zulfikar tak tertanggungkan. Seribu kali kematiannya tak mungkin impas mengganti sekali kematian Nancy.

Sesungguhnya tak butuh penyelidik tangguh untuk membongkar kejahatan ini tapi di Kebon Sawah beberapa kejahatan memang terjadi bukan untuk dipecahkan. Lupa selalu bisa diandalkan, tak pernah mengecewakan. Untunglah, bisik-bisik hantu Nancy terembus.

Ada tidaknya hantu Nancy akan tetap menjadi misteri sampai akhir cerita ini, terutama karena semua orang yang pernah bertemu dengannya tak lagi bisa ditanyai. Satu hal yang bisa dipastikan, beberapa orang telah dibunuh menyusul Nancy. Untuk mengikis sebagian penasaran, ada baiknya kita mulai dari suatu Rabu sore, tepat sebelum kemunculan pertama hantu Nancy.

***

Hampir seminggu setelah Nancy dibunuh, hampir seminggu pula Zulfikar menghilang. Sulaiman Badik menyuruh Ahmad Senin mencarinya, santun memerintahkan agar Senin mencari tahu apakah Zulfikar sedang sakit atau membutuhkan sesuatu. Senin berjalan ke rumah Zulfikar bersiap menemukan keadaan terburuk dan bertindak.

Zulfikar bukan anggota komplotan Leman Badik. Ia kelas teri, nyalinya tipis, kejahatannya paling cuma maling. Hanya karena Zulfikar pelanggan setia salon Nancy, ia diajak serta. Kuda troya, kata Leman, apa pun itu artinya. Anak buah Leman sejak awal bersiaga, siap menutup mulut Zulfikar kalau-kalau mentalnya kecut.

Ditemukan di rumah ibunya, Zulfikar jongkok di dekat sumur, memandangi cacing tanah. Ketika Senin ikut jongkok dan mengajak bicara, ia menyahut dengan kalimat yang tampaknya disusun tanpa akal sehat.

”Ini tadi cacing ini tadi mati tadi, Nin.”

Kalimat berikutnya, setelah jeda cukup lama, melompat.

”Senin, lu punya duit? Gua mau cukur,” satu tangannya memainkan ujung rambut panjangnya, sebelum mendadak menadah seperti pengemis. Senin, mungkin iba, merogoh kantongnya lalu menyorongkan selembar lima ribuan.

Zulfikar melipat uang itu dengan riang. Setengah bergurau, Senin bertanya di mana Zulfikar bercukur, mengingat Nancy sudah mati.

Wajah girang Zulfikar tiba-tiba lenyap.

”Nancy mati, Nin?” Zulfikar terlihat sungguh-sungguh, tawa Senin hampir meledak. Senin memutuskan mengangguk. Senin tahu jenis orang yang mudah patah, dan Zulfikar pastilah salah satunya. Setengah iba, ia menyimpulkan bahwa Zulfikar tak berbahaya, seperti potongan cacing di depan mereka.

Setelah menepuk-nepuk punggung Zulfikar, Senin beranjak. Sempat membatin laporan untuk bosnya, langkah Senin terhenti begitu mendengar kalimat Zulfikar kemudian.

”Kasihan pembunuh-pembunuh Nancy itu, Nin.”

Membalik badan, Senin bertanya kenapa.

”Aku mimpi ketemu Nancy. Dia bilang mau balas dendam.”

Wajah Zulfikar begitu serius namun malah begitu tolol. Pertahanan Senin jebol, ia tertawa sampai tersedak.

Besok paginya, setelah semalaman menertawai kegilaan Zulfikar bersama komplotannya, Senin ditemukan di kamar yang terkunci dari dalam. Mati tersumpal rambut, ia melotot.

***

Hampir genap empat minggu setelah kematian Nancy, Rabu selepas maghrib, Leman Badik duduk di pinggir kolam ikan di belakang rumah Sudirja, Lurah Kebon Sawah. Sudah tiga anak buah Leman mati berturut-turut, tiga Rabu malam terakhir. Sudirja di telepon tadi siang gagal menyembunyikan gelisah suaranya.

Leman Badik selalu mengira ketakutan ampuh menggerogoti sembarang orang, selain Sudirja. Duduk di sisinya, menghadapi pancing tanpa umpan, Sudirja tampak kosong, lemah. Lima minggu yang lalu, persis di tempat yang sama, Sudirja memerintahkan padanya untuk menghabisi Nancy. Saat itu suara majikannya pelan namun penuh percaya diri. Menyingkirkan perasaan cinta yang mendalam pada Nancy, raut Sudirja tak terlihat sedikit pun gundah.

Leman telah menjadi tukang pukul Sudirja sejak sepuluh tahun terakhir, menyaksikan berbagai kebusukan tuan tanah itu. Sejak tiga tahun yang lalu, gara-gara Nancy, untuk pertama kalinya Sudirja terjebak selangkangannya sendiri. Nancy seperti tahu sudut-sudut Sudirja yang paling lemah, mengolahnya, meracuninya, membuatnya ketagihan, kesetanan.

”Saya gak percaya ini kerjaan setan,” cetus Leman, menyergah pikirannya sendiri.

Persis ketika Leman mengucap ”setan”, pancing di tangan Sudirja lepas. Leman mencium kerusakan yang parah, jenis yang tak mungkin terobati. Tercetus dalam pikirannya, waktunya tak lama lagi untuk mencari majikan pengganti.

Sejurus kemudian keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menekuni pembunuhan beruntun lima minggu belakangan, arah pikiran keduanya tak beririsan. Leman percaya ini perbuatan manusia, kemungkinan besar musuh-musuh di pemilihan lurah tahun lalu, sekurangnya-kurangnya karena dua alasan: pertama, karena ini dipastikan oleh dukun langganannya dan, kedua, dukun itu tak pernah mengecewakannya. Sementara itu, pikiran Sudirja dipenuhi Nancy berkepala gundul dengan mata melotot dan mulut dipenuhi rambut yang datang setiap Rabu malam. Nancy akan mencapai dirinya, tak lama lagi.

Pertengkaran terakhir keduanya terngiang. Saat itu, Sudirja tegas menolak permintaan Nancy. Kekasihnya itu mengancam membeberkan hubungan gelap mereka, biar orang kampung tahu siapa Lurah Sudirja sesungguhnya. Sudirja mengancam akan menghabisi Nancy, menegaskan bahwa cara semacam itu bukan pula yang pertama untuknya. Nancy balas menantang, mengancam akan bangkit dari kubur dan membalas dendam jika ia benar-benar dibunuh.

Mencintai Nancy justru karena apa adanya, tak kurang tak lebih, Sudirja tak mungkin mengubah keputusannya. Mengabulkan permintaan itu sama dengan kehilangan Nancy selamanya, sama dengan membunuhnya. Sudirja ingat, saat itu ia sekadar melakukan yang biasanya ia lakukan jika merasa terdesak. Kini Rabu malam menjelang dan Sudirja menyesal sekadar menganggap angin ancaman Nancy. Semua sudah terlambat, ia yakin kematiannya sudah dekat.

Dari tempat duduknya, Leman bisa mencium ketakutan majikannya tapi bergeming. Malam nanti hantu Nancy bahkan boleh saja datang untuknya. Silakan. Anak buahnya tolol, kalah sebelum perang, itulah alasan kematian mereka. Hantu Nancy hanyalah akal-akalan manusia.

Tak diketahui apakah sempat Leman melawan dengan gagah. Esok paginya, ia ditemukan mati melotot melihat ngeri.

***

Dua malam Rabu setelah Leman, hantu Nancy mengambil dua lagi. Warga kampung mulai terbuka matanya, setelah Supriningsih, istri lurah, mati, dan lalu berani mengambil kesimpulan, setelah seminggu berikutnya giliran Sudirja. Bisik-bisik bahwa Lurah Kebon Sawah berhubungan gelap dengan Nancy, sekalipun sempat susah masuk akal, kini sulit dibantah lagi. Sudirja mati melotot dengan mulut tersumpal rambut, seperti istrinya, seperti seluruh komplotan Leman. Semuanya pastilah berhubungan.

Orang-orang berpikiran paling jernih di Kebon Sawah saling menggenapkan dugaan masing-masing, menyimpulkan bahwa latar pembunuhan Nancy adalah kecemburuan istri Sudirja dan atau ancaman buka mulut Nancy. Kedua latar ini mendorong Sudirja bertindak sedemikian keji. Menurut musuh-musuhnya, kekejian semacam ini bukan yang pertama bagi Sudirja. Mengenai betul tidaknya bisik-bisik bahwa pelaku balas dendam Nancy adalah arwah penasaran, tetua kampung menganjurkan warga mendekatkan diri pada Tuhan. Anjuran ini tak terlalu menenteramkan, terutama karena sudah setiap malam dalam enam minggu terakhir ini warga bertahlil dan dalam mengaji Yasin sebagian telah kehilangan kekhusyukan.

Sekalipun kesimpulan sudah diambil, tak satu pun warga memperkirakan bahwa dibutuhkan satu kematian lagi sebelum keadaan kembali tenang dan lupa mulai bisa diamalkan.

***

Rabu malam ketujuh setelah kematian Nancy, pintu salon miliknya dibuka paksa. Keadaan remang dan angker tak mencegah Zulfikar menemukan kursi di depan cermin di mana Nancy melihat dirinya sendiri terakhir kali.

Zulfikar duduk di kursi, dan berkat lampu jalan yang menerobos masuk ke salon itu, ia bisa menemukan bayangannya sendiri. Zulfikar menunggu.

Sebentar kemudian, penantiannya berakhir. Di cermin itu kini bisa ia lihat, Nancy berdiri di belakangnya.

Sejak mati Nancy semakin cantik, bukan setan gundul melotot dengan mulut tersumpal rambut seperti perkiraan orang. Rambutnya utuh, hitam tergerai panjang dan lebat, sangat terawat, persis sebagaimana yang Zulfikar ingat. Matanya tenang, menatap Zulfikar penuh sayang. Pakaiannya tipis menerawang. Zulfikar melihat ke dada Nancy dan terharu, sekali lagi. Kematian telah memberikan pada Nancy apa yang hanya bisa ia impikan semasa hidup. Sepasang dada yang mengkal, bukan tambalan potongan gombal. Wajah Nancy demikian halus dan cantik. Seperti janjinya pada Zulfikar dulu, jika operasi penanaman payudaranya berhasil, Nancy akan membiarkan kumis dan cambangnya tumbuh dengan anggun. Sungguh Zulfikar tak pernah mengira sedikit pun bahwa kumis dan cambang bisa membuat seseorang demikian cantik.

Zulfikar berandai-andai, jika saja Sudirja bisa menghargai kecantikan yang diangankan Nancy, tak sulit mengabulkan permintaannya. Sayang, lurah itu kuno. Zulfikar terus berandai-andai, jika saja ia kaya, bukan maling sekadarnya, tentu lain cerita. Terus ia menatapi Nancy di cermin, terus tak berhenti jatuh cinta lebih dari sebelumnya.

Zulfikar ingin bersuara tapi lidahnya kelu. Ia selalu ingin menjelaskan semuanya, kenapa ia mau jadi kaki tangan Leman, kenapa ia terlibat pembunuhan orang yang paling dicintainya. Zulfikar selalu urung karena ia yakin Nancy tak akan mengerti. Nancy tak akan bisa menakar cinta Zulfikar, betapa dalam sehingga jika ia tak bisa mendapatkan Nancy, tak seorang pun boleh bisa. Nancy demikian cantik. Jika Sudirja tak mewujudkan keinginannya, masih banyak orang kaya yang bisa.

Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang, Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis.

Ia melihat ke pangkuannya sendiri, puas dengan hasil kerjanya. Menatap ke arah bayangan Nancy penuh pembuktian diri, satu tangan Zulfikar mulai memasukkan rambut-rambut itu ke dalam mulutnya, satu tangan yang lain ia gunakan menutup hidungnya. Nancy tersenyum, semakin cantik.

***

Butuh waktu lama agar Kebon Sawah lupa. Dua tahun setelah kematian Nancy, tak satu pun salon baru berdiri. Warga harus pergi ke kampung sebelah atau ke pusat kota untuk bercukur dan didandani. Kerepotan kecil ini memaksa mereka mengingat delapan kematian beruntun di Kebon Sawah.

Warga masih terbelah sikap, sekalipun polisi sudah berusaha menenangkan, mengatakan bahwa Zulfikarlah pelaku di balik kematian enam orang, sebagaimana ditunjukkan jejak sidik jarinya, sebelum akhirnya bunuh diri. Sulit memaksa warga mendapatkan tenang, bukan semata-mata karena pembunuhan Nancy tak pernah terungkap terang. Mayat Zulfikar, setelah lenyap saat disemayamkan di masjid, sampai sekarang tak pernah ditemukan.

Dua bulan yang lalu seseorang bernama Siska datang, mendirikan salon persis di bekas salon Nancy. Mula-mula tak seorang pun mengunjunginya. Keadaan mulai berubah sejak Siska berjanji untuk membakar semua rambut yang dipotongnya. Tetua kampung, sekalipun sempat khawatir dengan kedatangan Siska, urung cemas begitu melihat pemilik salon itu. Berbeda dengan Nancy yang cantik, Siska berwajah buruk, lipstik merah di bibirnya dikelilingi kumis dan janggut. Keburukan itu, anehnya, tak sempat mengingatkan mereka pada wajah seseorang yang demikian akrab. Di balik celemong make-up dan semrawut cambangnya, mudah didapati betapa wajah Siska begitu mirip dengan Zulfikar.

Sampai kisah ini dituliskan, tak seorang pun warga pernah menghubungkan kemiripan keduanya, bahkan tidak juga pada sekadar obrolan ringan. Lupa rupa-rupanya bukan suatu cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong royong dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai rencana.

Begitupun, ingatan masih penasaran: mampirlah, di kampung itu kamu selalu bisa menghirup bau rambut terbakar.


------
Hantu Nancy by Ugoran Prasad
taken from http://cerpenkompas.wordpress.com/2009

Perempuan Sinting di Dapur

Dinanti-nanti matinya, Wak Haji Mail malah mulai mengigau. Semula tak seorang pun menangkap apa yang dikatakannya. Kupikir bukan tak bisa. Tak mau, lebih tepatnya. Aku sendiri, begitu diizinkan mendengar langsung segera mencerna, bukan kata, melainkan sepotong nama. Gumam ini berulang di antara tarikan nafasnya yang payah. Saodah.

Dua minggu setelah rumah sakit menyerah dan mengembalikannya ke rumah, Wak Haji Mail belum juga dijemput Izrail. Keempat belas anak dari tiga pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar, siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin adil.

Lepas maghrib tadi Haji Mail membuka mata dan mulutnya kembali bersuara. Satu jam kemudian semua orang terus berebutan masuk sehingga Wak Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah membuat keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak Misnah, istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk.

”Kau dengar?” tanya bibiku setengah membentak. Aku diam sebentar. Di depanku, Wak Haji terbaring seperti sepotong kayu. Lamat-lamat, di antara nafasnya yang berat, bisa kudengar suaranya, rendah dan kesakitan. Ke arah Wak Misnah, aku mengangguk.

”Panggilkan dia.” Suara bibiku agak goyah, mengejutkanku. Apa yang dicemaskannya?

Di jalan, kukarang-karang sendiri ihwal sepotong cinta tak sampai Wak Haji Mail pada Mak Saodah. Persis seperti cintaku pada Aminah.

Beberapa menit usai kuajukan permintaan keluarga kami, Mak Saodah tetap bergeming. Sebelumnya, kubayangkan ia akan bergegas, merapikan dirinya dan sebentar kemudian duduk di boncengan motorku. Sekalipun Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin.

Di depanku Mak Saodah masih tak bergerak. Matanya mulai berkaca-kaca dan sempat kukira ia terharu. Aminah, putri sulungnya, mendekat. Sejak tadi ia membisu di pojokan, mendengarkan. Kini ia meraba-raba punggung maknya, menenangkan. Kulihat sesaat, sepertinya rahang Mak Saodah bergemeretak. Aku tak yakin.

Aminah menatapku tajam-tajam. Aku mulai gelisah. Tatapannya selalu membuatku merasa telah melakukan kesalahan. Sejak dulu. Mungkin karena pikiran kotor mudah terbaca. Semenjak tiba dari luar negeri, minggu lalu, baru kali ini kulihat dia. Aminah semakin cantik.

”Mak nggak mau. Sebaiknya kamu pulang,” kata Aminah pelan, sungguh-sungguh.

Kalimat ini menusuk ulu hatiku. Perutku mulas. Ia pernah mengatakan kalimat serupa ini padaku. Kata-katanya, susunannya, lagunya, hampir sama. Satu-satunya perbedaan, dulu ia ajukan kalimat ini bukan atas nama maknya, melainkan dirinya sendiri.

Kupaksakan menatap matanya, berusaha keras tak menyerah pada kecantikannya. Dulu, aku gagal, lalu menundukkan kepala, melangkah pulang dengan gontai, menikahi sepupu yang sudah lama dijodohkan untukku supaya lupa, tapi malah mendapati, sepanjang akad nikah, wajahnya menghantuiku. Kini aku bersumpah, dalam hati, tak lagi.

Kubulatkan tekadku. Kali ini, aku tak akan pulang dengan tangan kosong. Sekurang-kurangnya, aku harus mendapatkan alasan. Aminah tersenyum, agak aneh. Sepertinya ia merendahkanku. Ya, ia merendahkanku. Apakah dulu juga ia merendahkanku?

”Alasan, Minah. Sekurang-kurangnya ada alasannya.” Kalimat ini, aku tak yakin sedang kuajukan untuk perkara yang mana.

Entah kenapa, ia menunduk. Ia sepertinya berpikir sebentar sebelum kemudian memutuskan untuk memapah maknya bangkit, lalu menuntunnya ke belakang, ke dapur. Sesaat kemudian, dari dapur itu, kudengar suara meraung. Suara Mak Saodah.

Kukarang-karang penjelasan di dalam kepalaku. Mak Saodah tak mau datang karena tak bisa menerima orang yang begitu berjasa dalam hidupnya sedang menjelang ajal. Ia tak mau terlihat begitu sedih. Tak mau menambah parah kesedihan yang ditanggung keluarga Haji Mail.

Ini pikiran yang aneh, sebenarnya. Semua orang tahu betapa keras Mak Saodah. Keras menghadapi pelanggannya, keras menjaga rahasia dapurnya. Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di kampung ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan membuat sosoknya semakin mengerikan.

Pikiranku belum terurai baik ketika Aminah keluar. Matanya merah dan sembab. Aku yakin ia turut menangis. Ia duduk di hadapanku, tapi sempat menoleh ketika mendengar teriakan dari arah dapur. Teriakan ini disusul bunyi piring pecah terbanting. Atau dibanting.

Aminah kembali memandangku, tapi kali ini tenang, setenang suaranya memenuhi permintaanku. Sepotong alasan, sepenggal cerita. Aku masih akan tak paham bahkan jauh sesudah ia menyelesaikan cerita ini. Entah karena ceritanya begitu sulit dan mengerikan atau karena sepanjang bercerita, ditingkahi bebunyi piring pecah terbanting, suaranya tetap setenang kolam.

Ketika aku dipanggil masuk, Wak Misnah sedang duduk di sisi kiri kepala Haji Mail. Itu sisi kuping Haji Mail yang masih mau bekerja. Aku duduk, tapi gagal mengatasi cemas.

Haji Mail bergumam panjang, kepayahan. Wak Misnah mendekatkan telinganya ke mulut Haji Mail. Tak yakin, Wak Misnah bertanya di telinga si kikir. Ia kembali bergumam tak terang, tapi Wak Misnah sepertinya paham. Bibiku itu berdehem dan mengangguk-angguk.

”Apa kata si Saodah?” tanyanya, setengah membentak. Pertanyaan ini tak sedikit pun terasa janggal di mulutnya, padahal setengah jam yang lalu jawabannya sudah ia terima.

Sekalipun sudah kuceritakan sebelumnya, aku tahu ceritaku akan kembali terbata-bata. Bahkan lebih buruk. Begitu panik, kalimatku jadi berantakan dan tak urut, seperti bocah belajar bicara. Untung, Wak Misnah rajin memperbaiki kekacauanku. Ia menyampaikan ulang ceritaku di telinga si kikir dengan lantang, sebagaimana yang selalu dilakukannya 10 tahun terakhir.

”Ada lagi?” sentak bibiku.

Aku tercekat sebentar sebelum menggeleng. Di antara perasaan cekat dan gelengan kepalaku sempat terpikir untuk mengutarakan rahasia yang diceritakan Aminah padaku. Rahasia yang sesungguhnya tak terang karena hanya berupa garis-garis besar. Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung seperti penderita kusta, dibiarkan mati tanpa harga diri.

Kuurungkan pikiran ini ketika kudengar Haji Mail mengerang. Erangnya panjang, kesakitan dan menyakitkan. Aku yakin pilihanku tepat. Tak perlu kuceritakan, Haji Mail ingat.

Lima belas menit kemudian, sesudah menitipkan sepotong pesan yang hanya bisa didengar istrinya, Haji Mail dan sepenggal ingatannya pergi. Aku melihatnya meregang nafas yang terakhir, satu hembusan nafas pelan seperti menghempas hidup yang melelahkan. Bulu kudukku naik. Aku baru saja sekamar dengan Izrail. Wak Misnah masih berusaha memastikan perintah terakhir suaminya, bertanya dengan lantang di telinga yang baru saja ditinggalkan pemiliknya.

Pagi buta, sehabis subuh, aku kembali ke rumah Mak Saodah dengan perasaan tercampur-campur. Menghadapi Mak Saodah membuatku takut, tapi pulang tanpa usaha dan menghadapi Wak Misnah juga sama mengerikannya. Terbata-bata kupaksakan diriku menyampaikan permintaan terakhir Haji Mail.

Mak Saodah mendengarkan permintaan ini dengan tenang. Tak bisa kuceritakan perasaan legaku ketika kulihat ia mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan tak kutemukan perempuan tua yang perlu dipapah untuk berjalan ke dapur, tadi malam. Mak Saodah penuh kekuatan. Sampai di dapur, sempat ia sibakkan tirai, menutupi pintu. Bayangannya tampak besar di tirai itu.

Aminah masih tinggal bersamaku. Tampaknya Mak Saodah belum mengizinkan Aminah menginjakkan kaki di dapurnya. Bekerja seorang diri untuk memenuhi permintaan almarhum Wak Haji, Mak Saodah harus bergegas menyiapkan masakan untuk ratusan orang yang akan bertahlil malam nanti.

Gelas teh di depanku masih setengah penuh sehingga kuputuskan duduk lebih lama. Lagi pula aku tak tahu mau ke mana. Pemakaman baru akan dilakukan sesudah matahari terbit, kembali ke rumah bibiku cuma akan mengotori pikiran ketimbang membersihkannya. Keempat belas sepupuku sudah lepas kendali, pertengkaran tak mungkin ditunda lagi.

Suasana hati Aminah, entah bagaimana terasa sedikit cerah. Terpikir untuk bertanya apa benar ia bekerja sebagai juru masak di luar negeri dan benarkah, sebagaimana yang dikatakan orang-orang, bahwa ia tak ingin kembali tinggal di kampung ini.

Berdehem-dehem tak pantas, kuputuskan untuk membuka percakapan. ”Kudengar kau suruh Makmu berhenti dagang, Minah?”

Aminah menatapku, tampak senang dengan pertanyaanku, lalu mengangguk. ”Ya, tapi Mak nggak mau.”

”Kenapa?”

Senyum Aminah hilang, tapi matanya masih bulat bening. Ia tampak berpikir sebentar sebelum kemudian berkata, ”Mak bilang, berdagang itu alasannya hidup.”

”Berdagang?”

Aminah tampak memikirkan jawabannya lagi. Sebentar kemudian ia menemukan kata yang lebih tepat. Beberapa kata. ”Bukan, bukan berdagangnya. Memasak untuk orang kampung. Ya, itu yang menyelamatkannya,” kalimat Aminah terputus sebentar. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam, ”itu menyelamatkanku.”

Pernyataan ini, membingungkan. Seluruh kampung ini, jika benar cerita Aminah kemarin, bukankah neraka bagi Mak Saodah?

Aku duduk diam dan berusaha memecahkan kebingunganku. Lama. Sepuluh menit kemudian, Aminah sepertinya mulai kasihan pada wajahku yang merot-perot karena tak paham. Ia memanggilku mendekat. Aku datang dengan sigap, tapi ia cepat menempelkan jari telunjuk di mulutnya, matanya membeliak nakal mengancam. Aku memperhalus langkahku, mendekatinya tanpa suara. Ia membungkuk di dekat tirai dapur, aku mengikutinya. Sesaat kuingat, kami berdua sebagai bocah berumur delapan tahun, 20 tahun yang lalu, berjingkat mengintip Mak Saodah. Dulu, jauh sebelum mencapai tirai dapur Mak Saodah sudah membentak kami. Kini suara bentakan itu tak kunjung datang. Aku menunduk di belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat tengkuk di bawah gelung rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya. Lehernya, siap menenggelamkanku. Aku agak mabuk, tak percaya. Sesaat bahkan kegirangan meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari-jari Aminah yang cantik menyibak tirai dapur.

Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak Saodah sedang bekerja, memotong-motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-bumbu ke dalam panci. Butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang ganjil dari semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan yang sedang dikerjakannya. Aku sempat tak awas karena Aminah menoleh ke arahku, ia sepertinya merasakan nafasku terlalu dekat, hangat di pipinya. Aku terkejut. Pada saat itulah aku berbisik, kelepasan bertanya. Pertanyaan yang lama kupendam dan kukira sudah tak akan kuajukan lagi.

”Minah, kenapa dulu kau menolak lamaranku?”

Aku tak ingat apakah Aminah sempat menjawab, sebab dari dalam dapur maknya membuatku terperangah.

Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi-tinggi, melewati lutut, lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai mendidih. Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian, mengerikan. Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, kudengar suara desing yang akrab dan gemericik air jatuh ke panci. Mak Saodah meludah lagi ke panci, sekali.

Desing dan gemericik itu belum selesai ketika mata Mak Saodah menusuk tajam, menatapku.

Sesudah tahlilan bubar, aku duduk di samping Wak Misnah. Sambil membantunya membagikan besek makanan, aku dipaksanya mendengar petuah lama. Petuah ini tak masuk akal dikatakannya saat ini, tapi tampaknya bibiku sedang ingin mengoceh tak karuan agar pikirannya tak dipusingkan persoalan. Dua anaknya baru saja mau saling bunuh, sore tadi.

Sungguhpun hapal luar kepala, kudapati bahwa tak pernah dua ajaran ini kupahami seperti sekarang. Pertama, bahwa ada 42 jenis gila manusia. ”Jika hendak kau pahami semuanya, ingat-ingat saja tindak-tanduk uwakmu, Haji Ismail almarhum.” Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ”Itulah kenapa kalian tak pernah paham. Jangan pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau nanti.”

Hidup diracun, menurutku, lebih ngeri.

----

Perempuan Sinting di Dapur by Ugoran Prasad

taken from http://cerpenkompas.wordpress.com/2008

Friday, June 3, 2011

rumah masa depan




aku masih bisa membayangkan betapa menyenangkannya menghabiskan sisa umur jika kita bersama.

memiliki rumah yang terbuat dari box container yang kita beli, menumpuknya di tengah hutan, mendekor isinya dan membuat taman mengelilinginya.

dan aku masih berharap, suatu hari nanti kita bisa mengunjungi Nara, bersama.



jangan lupa bernapas!


saya adalah orang beruntung yang bisa masuk ke sebuah dunia produksi film-iklan dan mengenal beberapa nama-nama hebat bahkan sebelum saya menyelesaikan studi saya di sebuah perguruan tinggi negeri yang berlandaskan seni.

2009, seorang produser mengajak saya ke Jakarta untuk mencicipi dunia film-iklan sebagai Production Asisstant (baca : jongos) setelah (alhamdulillah) dia terkesan dengan cara saya bekerja saat magang di sebuah produksi film layar lebar fenomenal - Trilogi Merah Putih. meskipun tidak mengikuti prosesnya mulai dari pra produksi, langsung terjun ke lapangan dan 'mengangani' ratusan orang crew dalam tahap produksi adalah sebuah pengalaman yang sangat berharga. dan apa yang saya lakukan adalah belajar dari apa yang tersirat, bukan tersurat, seperti pesan seorang rekan kerja yang banyak saya curi ilmunya.

4 bulan bekerja di dunia iklan, kemudian saya 'pamit' pada Ibu produser untuk menyelesaikan satu mata kuliah yang tertinggal, dan kemudian menyelesaikan tugas akhir. setelah berhasil menghabiskan mata kuliah, seorang teman mengajak saya untuk membantunya dalam sebuah pekerjaan. menjadi asisten untuk seorang sutradara yang namanya sudah sangat dikenal di dunia iklan dan video musik Indonesia. terjebak? mungkin bisa disebut begitu. entah kenapa, saya tidak bisa menolak ketika sang sutradara meyakinkan saya untuk melanjutkan bekerja dengannya. saya hanya berpikir, ini adalah kesempatan saya untuk belajar.

satu tahun lebih saya bekerja sebagai asisten sang sutradara tersebut. asisten pribadi, lebih tepatnya, karena saya yang mengatur semua schedule produksinya (baca : pelangi). di pekerjaan ini saya belajar lebih banyak lagi, tentang proses dari benar-benar awal hingga benar-benar akhir. dari mulai pitching-ide-persiapan-shooting-editing- hingga final mix dan akhirnya tayang di televisi. bertemu dengan banyak orang, menghabiskan hari dari meeting satu ke meeting lainnya, menikmati macetnya Jakarta, makanan-makanan mahal yang belum pernah ada dalam bayangan saya sebelumnya (walaupun saya tetap lebih suka menikmati rasa "makanan rakyat"), bola mata yang tidak lepas dari layar monitor 15", makin hobby masuk angin dan menempel koyo di pundak, mulai terserang migrain, kehilangan waktu untuk berkumpul dengan keluarga, apalagi untuk merawat diri sendiri, hingga akhirnya, tugas akhir saya tertunda (lagi).

mulailah, diprotes semua orang (*nyengir*) dan sebuah kalimat dari malaikat menampar saya, "Jangan lupa bernapas!" - ini seperti, untuk bernapas saja saya harus diingatkan. whatt?!

akhirnya kembali lagi, hidup adalah tentang memilih. setelah memilih, kita harus memutuskan. sudah saatnya saya kembali pada kenyataan. menyelesaikan studi serta meluangkan waktu untuk keluarga dan diri sendiri.

ke depannya? we'll see. saya punya beberapa rencana untuk masa depan saya. tapi yang jelas, akan tetap ada dalam otak saya, untuk apa mendapatkan cukup uang, tapi kehilangan banyak waktu untuk diri sendiri dan keluarga? untuk apa 'menyiksa' tubuh di luar kemampuannya jika ujung-ujungnya melalaikan kebutuhannya?

saya lebih memilih untuk melakukan apa yang saya suka, bekerja dengan otak, hati dan tangan dan tetap tersenyum. bersepeda menikmati udara sejuk dan sinar matahari senja, dan menemani mama serta adik-adik saya, membangun sebuah keluarga baru, dan bangkit dari tekanan yang 10 tahun ini kami lewati. :)

Jakarta dan pekerjaan, yang sebenarnya adalah pelarian.

Saturday, April 16, 2011

rindu hari ini


Hari ini aku tidak menikmati bisikan embun dan sapaan hangat matahari. Malam membunuh saya dalam-dalam sehingga aku melewatkan Pagi.

Hari ini aku tidak bertemu tamparan sinar matahari. Padatnya rutinitas membuat aku berada seharian di sebuah kendaraan dengan penyejuk udara yang seolah mengajak berkilah dari Siang yang rapi.

Hari ini aku tidak mengejar senja. Sebuah rutinitas yang biasanya tidak pernah aku lewatkan. Duduk terdiam dalam hening dan kegalauan, menatap langit jingga keunguan, melepas senja bersama Sore yang sepi.

Hari ini saya tidak menikmati rembulan. Ketika seluruh dunia mengagumi keindahan pantulan sinarnya karena bulan malam ini berada di titik terdekat dengan bumi.

Hari ini aku hanya bisa menikmati hujan, dengan aroma tanah yang ditimbulkan oleh rintiknya. Petir dan angin yang menggelegar menguatkan hati untuk tetap merangkum rindu ini untukmu.
aku merindukan getir dan sinismu.

Monday, April 4, 2011

sebuah fiksi tentang senja

hari kesatu

seorang lelaki duduk di puncak bukit kala senja. sore itu mendung, jadi senja yang biasanya jingga dan ungu menjadi kelabu. tetapi lelaki itu menyukainya. ia mengagumi senja dari celah-celah kecil yang masih diberikan oleh awan kepada pecinta senja abu-abu. lelaki itu.

hari kedua

seorang lelaki duduk di puncak bukit kala senja. bertahun-tahun ia menikmati seorang diri. pancaran sinar indah yang menjadi penanda dari matahari bahwa sinarnya harus terbagi dengan belahan dunia lainnya. lelaki itu menyukai suara dan aroma senja. hening dan aroma embun-embun malam yang akan datang merasuk ke otaknya.

hari ketiga

seorang lelaki duduk di puncak bukit kala senja. hari ini senja tidak berwarna kelabu. sore ini senja berwarna jingga dan ungu. seorang perempuan melintas dengan sepeda mini merah jambu. lelaki itu tertegun. perempuan itu tersenyum. “hari ini senja milikku”, ujarnya. lelaki itu membalasnya dengan senyum, “nikmatilah senjamu”. kemudian mereka berdua diam. menikmati senja dengan cara masing-masing.

hari keempat

seorang perempuan duduk di puncak bukit menunggu senja. ia lebih dulu datang. lelaki itu menyusul dengan basah kuyup. namun tersenyum puas. “hujan dan senja abu-abu. hari ini milikku. walaupun kamu datang lebih dulu”. ujarnya penuh kemenangan. perempuan itu cukup bahagia atas rintik-rintik hujan yang mengetuk kulit dan kepalanya. ia tersenyum sinis. “aku hanya ingin menikmati aroma hujan hari ini. aku tidak mencari senja”, kata perempuan itu. mereka kemudian diam dan menikmati hujan dengan cara masing-masing.

hari ke lima

seorang lelaki dan seorang perempuan berpapasan di jalanan menuju bukit tempat biasa mereka menikmati senja dengan cara mereka masing-masing. mereka saling melihat. lelaki itu bertanya, “bagaimana kamu menemukan bukit ini? sudah bertahun-tahun aku menikmatinya sendiri” dengan suara datar. “sepedaku yang membawaku ke sana. ia seperti menunjukkan arah ke tempat yang selama ini aku cari. sebuah tempat dimana aku bisa mengantarkan senja. sebuah tempat untukku melepas senja”. sambil terus berjalan menuju bukit, lelaki itu berkata “senjaku abu-abu”. perempuan itu tersenyum sambil menyahut, “senjaku jingga dan ungu! jadi kita tidak akan berebut senja, selalu!”, sambil menepuk pundak si lelaki. mereka meneruskan perjalanan hingga ke puncak bukit, kemudian melepas senja bersama. dengan cara mereka masing-masing. hari itu, senja berwarna merah jambu.

hari ke enam

seorang lelaki dan seorang perempuan duduk di puncak bukit kala senja. gerimis menemani keheningan mereka. “dengarkan suara rintik itu”, ujar si perempuan. “gerimis mengajak kita mendengarkan surga”, lanjutnya. “hiruplah aromanya!” , ujar si lelaki. “aroma tanah?”, tanya si perempuan. “hmmm, hujan selalu membawa bau laut kalau kau bisa menghirupnya lebih dalam”, terang si lelaki. “ini hanya bisa kita nikmati di sini. di kota, aroma hujan menimbulkan bau anyir bercampur tahi kuda dan aspal. padahal bumi bersemedi saat itu”, lanjutnya. perempuan ini diam, mencoba menghirup hujan lebih dalam, dan mencari bau laut yang katanya ada. langit mendung. “hari ini dia berwarna abu-abu, hari ini dia milikku”, kata lelaki itu. si perempuan hanya diam dan meikmati tetesan hujan, dan bau laut yang ia temukan.

hari ke tujuh.

seorang lelaki dan seorang perempuan duduk di puncak bukit kala senja. hujan turun dari pagi hingga sore tadi. senja yang dilepas setelah hujan seharian akan sangat indah. warna jingga, ungu, biru, dan merah jambu berpaduan menjadi satu. “senja ini milikku”, perempuan ini tersenyum puas. “aku senang, bau tanah dari hujan masih tertinggal”, lanjutnya, dan memperlebar senyumnya. si lelaki juga berpikiran sama. ia masih dapat mencium aroma yang menenangkan jiwa itu. “aku berterima kasih pada Tuhan atas senja dan hujan hari ini. dan atas kamu, yang beberapa hari ini menemaniku mengantarkan senja pulang ke peraduannya.” mereka berdua tersenyum.

“maukah kamu selalu menemaniku melepas senjaku?”

".............."


Saturday, February 12, 2011

hanya ingin diam

aku tidak punya kata-kata untuk dirangkai menjadi suatu cerita, lalu menceritakannya padamu.
aku tidak punya gambar untuk diperlihatkan, lalu memperlihatkannya padamu.
aku tidak punya lagu untuk didengarkan, lalu memperdengarkannya untukmu.
aku sungguh tidak punya daya untuk mengajakmu kembali berhayal, tentang mimpiku denganmu.
aku hanya ingin diam, tanpa kata dan suara.


suatu saat.. ketika sudah kembali terangkum cerita, semuanya pasti kuberikan padamu.
hanya untuk kamu.

jauh

duduk diam memandangimu yang berada di luar jarak pandang merekam lamunmu yang tak dapat kubaca, dan diammu yang tak dapat kuterka. seny...