Tuesday, November 8, 2011

Jogjakarta yang padat acara dan Hujan yang terlambat turun

mulai dari bulan juli hingga akhir oktober lalu, matahari seperti membuka cabang yang banyak serta mengadakan diskon besar-besaran. Jogja sangat panas. sedangkan saya yakin seharusnya hujan sudah mulai turun dari awal oktober. yang saya pikirkan, ini adalah dampak dari perubahan iklim dunia, ataukah pawang-pawang hujan jogja yang sakti sedang giat-giatnya bekerja?

saya lebih yakin pada pemikiran saya yang kedua. semua pawang hujan di jogja sedang berjuang tanpa mengenal lelah memohon pada awan untuk tidak dulu berkumpul membentuk sebuah komune yang bisa menghasilkan rintik-rintik air dan menghambat semua agenda. Jogja sedang mempersiapkan diri untuk sebuah perhelatan akbar.

bukan konser megah yang menghadirkan band rock papan atas internasional. Jogja berulangtahun yang ke 255 Oktober ini. semua warga Jogja -- pemerintah dan rakyat Jogja, tidak akan tinggal diam. Festival digalangkan. Jogja Java Carnival adalah salah satu festival tahunan yang rutin diselenggarakan menyambut peringatan ulang tahun kota Jogja. rangkaiannya digelar di sudut-sudut kota Jogja setiap hari. selama hampir dua minggu. jelas saja para pawang hujan tidak akan mengijinkan langit menangis terlalu awal.

bukan karena Opera Van Java menggelar live show di pelataran Candi Prambanan. Keraton punya hajatan besar. Pernikahan agung putri bungsu Sultan digelar berdekatan dengan peringatan ulangtahun kota Jogja. seluruh rakyat Jogja ikut menyibukkan diri, dan tidak mau ketinggalan sedikit pun melewatkan berita perhelatan besar ini.

ribuan orang memenuhi ruas jalan Malioboro. saya menduga, apa yang akan dikatakan Jalan Malioboro ini seandainya ia bisa berbicara? betapa ia telah menjadi saksi ribuan sejarah yang terjadi di kota yang semakin padat ini. kepala-kepala berebut celah untuk menyaksikan secara langsung pengantin yang berbahagia yang menuju Kepatihan dengan kereta kuda pusaka Keraton. sungguh seperti di kisah-kisah puteri anggun yang dulu sering saya baca ketika masih kecil. dipinang pangeran dan hidup bahagia selamanya. 

saya, seperti semua orang, ingin mendapatkan tempat strategis agar bisa melihat dengan kacamata saya, melintasnya sang kereta pusaka. namun sebelum mencari tempat, otak pesimis saya sudah bekerja. membayangkan badan kecil saya tergencet kerumunan. sesak napas karena oksigen pun akan jadi rebutan. belum lagi desakan orang-orang yang berusaha lebih dulu mengerubuti 200 gerobak angkringan yang disediakan gratis oleh Keraton. akhirnya saya memilih menunggu pawai di sebuah kafe di atas Mirota Batik, dengan harapan bisa sedikit mengintip sejarah yang akan terjadi.

menjelang jam 4 sore -- terlambat 1 jam dari yang sudah di jadwalkan, rombongan pengiring pengantin lewat menerobos lautan manusia yang tumpah ruah ke jalanan dan tidak peduli pada pagar batasan. susah payah kuda-kuda itu membelah kerumunan hingga sampai di gerbang Kepatihan. saya tidak bisa melihat dengan jelas, tapi saya cukup senang, melihat rakyat yang antusias mengiringi perjalanan kereta pengantin, dan saya adalah bagian dari mereka. 

beberapa jam setelahnya, rintik-rintik halus mulai turun, seakan langit memberi restu kepada kedua mempelai. 

Jogja, hingga saat ini, langitnya selalu mendekap erat matahari. seolah membiarkan matahari beristirahat karena mungkin ia kelelahan bekerja sepanjang tahun. komune awan abu-abu menjadi payung yang teduh untuk jogja dan rakyatnya.

semua orang menyalahkan hujan karena ia menghambat segala aktifitas. mereka salah besar. yang menghambat aktifitas mereka adalah mereka sendiri. hujan hadir untuk memberkahi bumi. menyirami aspal-aspal yang kering. menyejukkan pikiran yang kerontang. hujan tidak bermaksud menghambat apapun.

dan kini, aktifitas saya lewatkan bersama hujan yang menemani perjalanan.

selamat datang, hujan :)

jauh

duduk diam memandangimu yang berada di luar jarak pandang merekam lamunmu yang tak dapat kubaca, dan diammu yang tak dapat kuterka. seny...