Saturday, November 24, 2012

tertipu cemburu dikelabuhi rindu pada malam dingin membiarkan detik demi detik berlalu merasuk ke sum-sum terdalam teriringi dentingan Oscar oleh Frau tentang sepasang kekasih yang bercinta di luar angkasa seperti yang pernah kita lewati berdua saat menyetubuhi embun pagi berebut dengan rumput yang haus sejuknya tetesan air bening itu.

aku benar-benar merindukanmu.

Tuesday, November 13, 2012

Frea...


Pada suatu pagi lelaki yang ia cintai menghujaninya dengan tikaman. Dengan segala kemampuan ia berusaha untuk berjalan pulang. nyeri di kepala membuat langkahnya makin terhuyung. Orang-orang mengira ia sedang mabuk. Tak ada yang menolongnya.

Frea, sedang berusaha bertahan.


Ia tersesat di hutan. Jatuh, terkapar saat berusaha menembus semak belukar. Peri-peri hutan bermunculan. Terheran melihat perempuan itu meringkuk, matanya terbuka, nanar. Tatapannya kosong. Air mata menetes dari sudut matanya.


Frea, mati rasa.


Salah satu dari mereka membenarkan posisi tidurnya. Membersihkan wajah dan badannya dari luka. Matanya tetap terbuka. Air masih mengalir dari sudutnya.


Frea, tak lagi tau apa itu cinta.


Mereka merawatnya. Hingga matanya dapat kembali berkedip walau tetap hampa. Tak ada yang berani bertanya.


Frea, tak ingin bicara.


Rintik hujan datang. Ia terbangunkan. Berusaha menopang badannya dan berdiri. Deras. Rintiknya makin keras. Tangisnya tersamarkan.


Frea, hujan akan menghapus semua.


Sebenarnya, ia lebih kuat daripada yang pernah ia kira.

Monday, November 12, 2012

On Melancho-Frea





Frea. rindu-rindunya sudah tak bisa terkata-kata.
Menelanjanginya seperti langit menelanjangi purnama yang baru dimulai malam ini.
Frea dan semangat patahnya sebab kini ia adalah lajang yang jalang.
Bujangan-bujangan bajingan melayangkan tamparan ke wajahnya, menyayat kulit mukanya agar orang-orang tak ingin menatapnya, atau bahkan muntah ketika melihatnya.


Tentang pagi yang Frea hirup bersama langkah kaki hari ini.
Jonsi menemaninya meditasi setelah semalaman Anamnesis menemani hingga terlelap menuju alam mimpi.
Melepas alas kaki dan menjejaki rumput basah yang disetubuhi embun pagi.
Ugoran Prasad yang pernah membuatnya mati berdiri sudah tidak bisa membakarnya seperti dulu lagi.
Maka Frea meminta hangat kepada matahari yang mulai meninggi perlahan dengan sangat hati-hati.
Kebangkitan harus kembali dia jelang sebab sudah dua ratus tahun api semangat yang dikobarkan dalam sekejap dipadamkan.
Kekuatan itu sehebat angin kencang yang disertai hujan dan petir menggelegar.
Frea takkan pernah lagi bisa berlari meskipun makian-makian mereka tak sepenuhnya melumpuhkan kekuatannya untuk berdiri.
Ia  hanya tak ingin lagi berlari. Itu saja.

Lama Gyurme meminta Frea untuk memejamkan mata dan merasakan semua energi.
Sebab Frea sudah tak bisa berkata lagi.
Untung saja kepala tidak mungkin bisa pecah sendiri.

Tentang Frea…
Ketika kesalahan menjadi takdirnya dan takdir merampas hidupnya.
Frea menyalahkan mata dan ketakutannya.
Frea menyalahkan telinganya sebab ia tak bisa mendengar lumpur-lumpur bersuara.

Avalokiteśvara menyelamatkan Frea dengan tangan-tangannya.
Perlahan mengajak Frea berdiri, menyembuhkannya.
Frea mengikutinya terbang meskipun heran bagaimana mungkin dia bisa berdiri tanpa memijak bumi.
Bumi dan duniawi.

Dalam gulita, Frea meminta terang pada Amon Ra.
Cahaya kecil akhirnya membuatnya mengerti tentang rasa yang tak bisa lagi tersusun menjadi bahasa.
Sebab tak semua rasa dapat terselesaikan walau hanya sebatas makna.


Sometimes, some words are worth unspoken, and some feelings are worth hidden…

Hari ini berubah menjadi hologram.

Frea berangkat sekarang.
Melanjutkan terbangnya mengikuti Avalokiteśvara.
Pada bibirnya tersirat bayangan senyum, sekelumit sisa kehidupan dalam tubuhnya yang merapuh…

Tak ada yang perlu dipersalahkan.
Termasuk dirimu, Frea…

Sunday, November 11, 2012

aku pulang...

delapanbelas jam perjalanan menuju kembali ke kota.
kota jahat yang sama sekali tak bersahabat.
memulai hari dengan polusi sama sekali bukan ide yang baik.
tapi sudahlah, sampah udara harus kuhadapi setiap hari untuk sementara ini.
lalu sakit kepala tidak mau pergi.
hinggap pada kepala dan berlari-lari.
berpindah ke sana-kemari.

aku sedang muak dengan jarak.
malam ini semesta menenangkanmu dengan arak.
arak mengelabuhimu.
katanya kamu punya kekasih yang tidak mencintaimu.

apa buktinya? kekasihmu mengejar, bertanya dengan gusar.
buktinya ia lebih memilih mempertahankan seleranya yang murahan ketimbang mendengarkan lagu-lagu yang kau ciptakan.

oh Semesta,
lalu kemana larinya semua peluh-peluh itu?

kemudian tentang ekor yang selalu kupancang

jika memang aku membuatmu terkekang maka lebih baik aku yang menghilang.
tenanglah.
kebebasanmu tidak akan terbang.

sebab aku sedang beranjak mengemasi serpihan-serpihan kemesraan dan menguburnya, lalu pulang...

Friday, November 9, 2012

sampaikan salamku pada hujan

sampaikan salamku pada hujan di sana, sayang...
biar dia melebur debu-debu yang mengepul saat tersapu
biar tetesnya meredakan semua lara di muka dunia
biar rintiknya menjadi irama yang melagu bagi mereka-mereka yang dirundung sendu

sampaikan salamku pada hujan di sana, sayang...
keriaanku di sini seperti mereka semua yang menyambut datangnya ia di sana
dan semua akar tanaman yang kehausan kembali menghirup basahnya tanah
minggu depan kita panen buahnya bersama

sampaikan salamku pada hujan di sana...
sampaikan terima kasihku atas petrichor yang ia datangkan...
aroma tanah basah yang kau hirup sekarang


Thursday, November 8, 2012

cerita-cerita ibu-ibu kaleng tua (part one)


pada sebuah persinggahan terakhirnya di sebuah kota kecil itu, Kinanthi menengadah.
menatap langit dan gugusan awan yang membentuk guratan-guratan tanda untuk diceritakan.
langkah sepasang kaki kecilnya masih menyusuri jalanan yang belum pernah dilewatinya ini.
"aku merasa tidak asing dengan jalanan ini..."
ia menyampaikan ini kepada bathin, yang selalu bisa menjelaskan kepadanya tentang semua kejadian aneh yang terjadi sepanjang hidupnya.

Kinanthi tidak pernah menaruh percaya pada siapapun.
ia hanya memercayai bathinnya.

sekali lagi kini ia mengikuti bathinnya yang sudah sepakat dengan sepasang kakinya untuk mengentikan langkah pada sebuah pasar tua.
Kinanthi memasukinya perlahan.
mencari tanda.
semuanya yang di sana adalah barang-barang lama.

"bising disini", ujar Kinanthi dalam hati.
ia bisa mendengar semua yang suara, tetapi tidak semua kata.
terlalu riuh karena semuanya disampaikan secara bersamaan.
mereka semua bicara dengan berebutan.

sebuah kotak telepon kuno menyapanya saat langkah mungilnya melewati sebuah kios.
rangkaian besi yang dicat merah itu tampak megah.
memiliki wibawa yang berbeda dengan lemari-lemari kuno di sekitarnya.
"sebentar lagi kau akan terbiasa..." suaranya bijak, sesuai dengan wujudnya.
Kinanthi mendengarnya dengan jelas.
ia hanya menatap kotak telepon kuno itu dengan senyuman hangatnya.
ia merasa kotak telepon kuno itu membalasnya, hanya saja tak kasat mata.
kotak telepon tak punya muka.

suara-suara mereka pun sebenarnya tak kasat telinga.
tapi Kinanthi selalu mendengar barang-barang kuno memanggilnya.
mengajaknya mampir untuk mendengar kisah mereka. kisah-kisah lama yang hidup menjadi sejarah.
tak pernah mati, karena mereka tak pernah bernyawa.
tapi tak bernyawa bukan berarti tak punya rasa.
mereka sama seperti kita.
merasakan cinta dan lara.
mereka mengabadikannya.

langkahnya terhenti ketika dua mata bulatnya yang sayu tertuju pada sebuah kotak kaleng.
kecintaannya pada kaleng-kaleng tua membuat segala indera yang dia punya menyadari bahwa ada benda itu di sekitarnya.
kotak itu terhimpit di sela-sela lemari antik.
seolah disematkan begitu saja dan ia rasa penjualnya telah melupakan kehadirannya.
Kinanthi mendengar, "Saya punya banyak cerita untuk kamu" pada detik ke tujuh ia menatap kaleng itu.
"Seperti suara seperti ibu..." bisik Kinanthi pada bathinnya.

mungkin dulunya kaleng ini memiliki corak bunga, masih bisa terlihat samar-samar semburat
kecantikannya yang memudar ditelan masa.
karat-karat halus menjamah permukaannya dan merambat perlahan menelan coraknya.
seperti jaringan kanker yang meluas hingga merenggut ibu darinya.

Kinanthi memasuki kios, mencapai sela-sela lemari antik yang menghimpit ibu-ibu kaleng tua itu.
suara bising masih mengganggu telinga. ia mengabaikannya.
"boleh saya lihat kaleng ini pak?" Kinanti meminta ijin pada pria tua yang duduk di depan kiosnya.
sambil menghembuskan asap tembakau yang ia hisap dari pipa, "bisa ambilnya?" jenggotnya yang putih terlihat menguning. nikotin.

kaleng itu sudah direngkuh oleh kedua tangan Kinanthi.
ia merasakan ibu-ibu kaleng itu tersenyum sambil melemaskan ototnya karena selama ini ia dihimpit dengan posisi miring.
"terima kasih ya, cerita-cerita untukmu ada di dalam.
tapi kamu tidak kusarankan untuk membukaku di sini.
kamu tidak akan bisa mendengar cerita mereka dengan baik.
pasar ini bising sekali kan?"
Kinanthi hanya mengangguk.

"pak, kaleng ini berapa harganya?"
"itu barang sudah tiga belas tahun di sini ngga ada yang mau beli. saya juga ngga tau mau kasih harga berapa."
kemudian hening.
"kamu bawa saja lah. besok kalo kamu ke sini lagi ceritakan apa yang diceritakannya ya. dia ngga pernah mau cerita sama saya"
Kinanthi tertegun. matanya makin bulat.
"saya dengar dari tadi dia ngomong sama kamu. dia pilih kamu".
"Bapak juga bisa 'dengar' mereka?"
"ya iya, dan saya udah biasa denger berisik kaya gini. denger mereka ngobrol itu, ngobrol ini. wong saya juga tinggal di sini".
Kinanthi tersenyum. "terima kasih pak, saya pasti akan kembali ke sini".
"kalo kamu kembali ke sini dan saya udah mati, kamu cari pipa cangklong ini di sini ya".
pria tua itu menunjukkan sebuah laci pada lemari kayu besar yang ditempeli tulisan TIDAK DIJUAL.

"akhirnya aku pergi juga dari tempat itu. aku bosan sekali.
cerita pertamaku akan kumulai sesampainya di rumahmu ya" ujar ibu-ibu kaleng tua.
"sabar ya bu, perjalanan kita masih jauh. 'rumah' saya belum ketemu". jawab Kinanthi.

"aku akan menemani perjalananmu. kamu akan segera menemukan 'rumah' mu"


dan kisah ini baru akan dimulai...

Tuesday, November 6, 2012

sebab aku tak akan melepas pelukku untukmu

baiklah, kali ini tentang cintamu yang membatu
mengeras dalam jantungku menjadi kerak yang tak dapat terkikis waktu
memaksaku mendengarkan tangisanmu pada dini hari yang dinginnya membeku
dinding-dinding tuli lalu ikut mendengarkanku yang meninabobokanmu agar terlelap ditelan malam kelabu

tidak akan terjadi apa-apa, kataku

tidurlah, akan kubangunkan kamu esok Rabu...

jauh

duduk diam memandangimu yang berada di luar jarak pandang merekam lamunmu yang tak dapat kubaca, dan diammu yang tak dapat kuterka. seny...