Sunday, July 31, 2011

Perempuan Sinting di Dapur

Dinanti-nanti matinya, Wak Haji Mail malah mulai mengigau. Semula tak seorang pun menangkap apa yang dikatakannya. Kupikir bukan tak bisa. Tak mau, lebih tepatnya. Aku sendiri, begitu diizinkan mendengar langsung segera mencerna, bukan kata, melainkan sepotong nama. Gumam ini berulang di antara tarikan nafasnya yang payah. Saodah.

Dua minggu setelah rumah sakit menyerah dan mengembalikannya ke rumah, Wak Haji Mail belum juga dijemput Izrail. Keempat belas anak dari tiga pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar, siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin adil.

Lepas maghrib tadi Haji Mail membuka mata dan mulutnya kembali bersuara. Satu jam kemudian semua orang terus berebutan masuk sehingga Wak Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah membuat keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak Misnah, istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk.

”Kau dengar?” tanya bibiku setengah membentak. Aku diam sebentar. Di depanku, Wak Haji terbaring seperti sepotong kayu. Lamat-lamat, di antara nafasnya yang berat, bisa kudengar suaranya, rendah dan kesakitan. Ke arah Wak Misnah, aku mengangguk.

”Panggilkan dia.” Suara bibiku agak goyah, mengejutkanku. Apa yang dicemaskannya?

Di jalan, kukarang-karang sendiri ihwal sepotong cinta tak sampai Wak Haji Mail pada Mak Saodah. Persis seperti cintaku pada Aminah.

Beberapa menit usai kuajukan permintaan keluarga kami, Mak Saodah tetap bergeming. Sebelumnya, kubayangkan ia akan bergegas, merapikan dirinya dan sebentar kemudian duduk di boncengan motorku. Sekalipun Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin.

Di depanku Mak Saodah masih tak bergerak. Matanya mulai berkaca-kaca dan sempat kukira ia terharu. Aminah, putri sulungnya, mendekat. Sejak tadi ia membisu di pojokan, mendengarkan. Kini ia meraba-raba punggung maknya, menenangkan. Kulihat sesaat, sepertinya rahang Mak Saodah bergemeretak. Aku tak yakin.

Aminah menatapku tajam-tajam. Aku mulai gelisah. Tatapannya selalu membuatku merasa telah melakukan kesalahan. Sejak dulu. Mungkin karena pikiran kotor mudah terbaca. Semenjak tiba dari luar negeri, minggu lalu, baru kali ini kulihat dia. Aminah semakin cantik.

”Mak nggak mau. Sebaiknya kamu pulang,” kata Aminah pelan, sungguh-sungguh.

Kalimat ini menusuk ulu hatiku. Perutku mulas. Ia pernah mengatakan kalimat serupa ini padaku. Kata-katanya, susunannya, lagunya, hampir sama. Satu-satunya perbedaan, dulu ia ajukan kalimat ini bukan atas nama maknya, melainkan dirinya sendiri.

Kupaksakan menatap matanya, berusaha keras tak menyerah pada kecantikannya. Dulu, aku gagal, lalu menundukkan kepala, melangkah pulang dengan gontai, menikahi sepupu yang sudah lama dijodohkan untukku supaya lupa, tapi malah mendapati, sepanjang akad nikah, wajahnya menghantuiku. Kini aku bersumpah, dalam hati, tak lagi.

Kubulatkan tekadku. Kali ini, aku tak akan pulang dengan tangan kosong. Sekurang-kurangnya, aku harus mendapatkan alasan. Aminah tersenyum, agak aneh. Sepertinya ia merendahkanku. Ya, ia merendahkanku. Apakah dulu juga ia merendahkanku?

”Alasan, Minah. Sekurang-kurangnya ada alasannya.” Kalimat ini, aku tak yakin sedang kuajukan untuk perkara yang mana.

Entah kenapa, ia menunduk. Ia sepertinya berpikir sebentar sebelum kemudian memutuskan untuk memapah maknya bangkit, lalu menuntunnya ke belakang, ke dapur. Sesaat kemudian, dari dapur itu, kudengar suara meraung. Suara Mak Saodah.

Kukarang-karang penjelasan di dalam kepalaku. Mak Saodah tak mau datang karena tak bisa menerima orang yang begitu berjasa dalam hidupnya sedang menjelang ajal. Ia tak mau terlihat begitu sedih. Tak mau menambah parah kesedihan yang ditanggung keluarga Haji Mail.

Ini pikiran yang aneh, sebenarnya. Semua orang tahu betapa keras Mak Saodah. Keras menghadapi pelanggannya, keras menjaga rahasia dapurnya. Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di kampung ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan membuat sosoknya semakin mengerikan.

Pikiranku belum terurai baik ketika Aminah keluar. Matanya merah dan sembab. Aku yakin ia turut menangis. Ia duduk di hadapanku, tapi sempat menoleh ketika mendengar teriakan dari arah dapur. Teriakan ini disusul bunyi piring pecah terbanting. Atau dibanting.

Aminah kembali memandangku, tapi kali ini tenang, setenang suaranya memenuhi permintaanku. Sepotong alasan, sepenggal cerita. Aku masih akan tak paham bahkan jauh sesudah ia menyelesaikan cerita ini. Entah karena ceritanya begitu sulit dan mengerikan atau karena sepanjang bercerita, ditingkahi bebunyi piring pecah terbanting, suaranya tetap setenang kolam.

Ketika aku dipanggil masuk, Wak Misnah sedang duduk di sisi kiri kepala Haji Mail. Itu sisi kuping Haji Mail yang masih mau bekerja. Aku duduk, tapi gagal mengatasi cemas.

Haji Mail bergumam panjang, kepayahan. Wak Misnah mendekatkan telinganya ke mulut Haji Mail. Tak yakin, Wak Misnah bertanya di telinga si kikir. Ia kembali bergumam tak terang, tapi Wak Misnah sepertinya paham. Bibiku itu berdehem dan mengangguk-angguk.

”Apa kata si Saodah?” tanyanya, setengah membentak. Pertanyaan ini tak sedikit pun terasa janggal di mulutnya, padahal setengah jam yang lalu jawabannya sudah ia terima.

Sekalipun sudah kuceritakan sebelumnya, aku tahu ceritaku akan kembali terbata-bata. Bahkan lebih buruk. Begitu panik, kalimatku jadi berantakan dan tak urut, seperti bocah belajar bicara. Untung, Wak Misnah rajin memperbaiki kekacauanku. Ia menyampaikan ulang ceritaku di telinga si kikir dengan lantang, sebagaimana yang selalu dilakukannya 10 tahun terakhir.

”Ada lagi?” sentak bibiku.

Aku tercekat sebentar sebelum menggeleng. Di antara perasaan cekat dan gelengan kepalaku sempat terpikir untuk mengutarakan rahasia yang diceritakan Aminah padaku. Rahasia yang sesungguhnya tak terang karena hanya berupa garis-garis besar. Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung seperti penderita kusta, dibiarkan mati tanpa harga diri.

Kuurungkan pikiran ini ketika kudengar Haji Mail mengerang. Erangnya panjang, kesakitan dan menyakitkan. Aku yakin pilihanku tepat. Tak perlu kuceritakan, Haji Mail ingat.

Lima belas menit kemudian, sesudah menitipkan sepotong pesan yang hanya bisa didengar istrinya, Haji Mail dan sepenggal ingatannya pergi. Aku melihatnya meregang nafas yang terakhir, satu hembusan nafas pelan seperti menghempas hidup yang melelahkan. Bulu kudukku naik. Aku baru saja sekamar dengan Izrail. Wak Misnah masih berusaha memastikan perintah terakhir suaminya, bertanya dengan lantang di telinga yang baru saja ditinggalkan pemiliknya.

Pagi buta, sehabis subuh, aku kembali ke rumah Mak Saodah dengan perasaan tercampur-campur. Menghadapi Mak Saodah membuatku takut, tapi pulang tanpa usaha dan menghadapi Wak Misnah juga sama mengerikannya. Terbata-bata kupaksakan diriku menyampaikan permintaan terakhir Haji Mail.

Mak Saodah mendengarkan permintaan ini dengan tenang. Tak bisa kuceritakan perasaan legaku ketika kulihat ia mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan tak kutemukan perempuan tua yang perlu dipapah untuk berjalan ke dapur, tadi malam. Mak Saodah penuh kekuatan. Sampai di dapur, sempat ia sibakkan tirai, menutupi pintu. Bayangannya tampak besar di tirai itu.

Aminah masih tinggal bersamaku. Tampaknya Mak Saodah belum mengizinkan Aminah menginjakkan kaki di dapurnya. Bekerja seorang diri untuk memenuhi permintaan almarhum Wak Haji, Mak Saodah harus bergegas menyiapkan masakan untuk ratusan orang yang akan bertahlil malam nanti.

Gelas teh di depanku masih setengah penuh sehingga kuputuskan duduk lebih lama. Lagi pula aku tak tahu mau ke mana. Pemakaman baru akan dilakukan sesudah matahari terbit, kembali ke rumah bibiku cuma akan mengotori pikiran ketimbang membersihkannya. Keempat belas sepupuku sudah lepas kendali, pertengkaran tak mungkin ditunda lagi.

Suasana hati Aminah, entah bagaimana terasa sedikit cerah. Terpikir untuk bertanya apa benar ia bekerja sebagai juru masak di luar negeri dan benarkah, sebagaimana yang dikatakan orang-orang, bahwa ia tak ingin kembali tinggal di kampung ini.

Berdehem-dehem tak pantas, kuputuskan untuk membuka percakapan. ”Kudengar kau suruh Makmu berhenti dagang, Minah?”

Aminah menatapku, tampak senang dengan pertanyaanku, lalu mengangguk. ”Ya, tapi Mak nggak mau.”

”Kenapa?”

Senyum Aminah hilang, tapi matanya masih bulat bening. Ia tampak berpikir sebentar sebelum kemudian berkata, ”Mak bilang, berdagang itu alasannya hidup.”

”Berdagang?”

Aminah tampak memikirkan jawabannya lagi. Sebentar kemudian ia menemukan kata yang lebih tepat. Beberapa kata. ”Bukan, bukan berdagangnya. Memasak untuk orang kampung. Ya, itu yang menyelamatkannya,” kalimat Aminah terputus sebentar. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam, ”itu menyelamatkanku.”

Pernyataan ini, membingungkan. Seluruh kampung ini, jika benar cerita Aminah kemarin, bukankah neraka bagi Mak Saodah?

Aku duduk diam dan berusaha memecahkan kebingunganku. Lama. Sepuluh menit kemudian, Aminah sepertinya mulai kasihan pada wajahku yang merot-perot karena tak paham. Ia memanggilku mendekat. Aku datang dengan sigap, tapi ia cepat menempelkan jari telunjuk di mulutnya, matanya membeliak nakal mengancam. Aku memperhalus langkahku, mendekatinya tanpa suara. Ia membungkuk di dekat tirai dapur, aku mengikutinya. Sesaat kuingat, kami berdua sebagai bocah berumur delapan tahun, 20 tahun yang lalu, berjingkat mengintip Mak Saodah. Dulu, jauh sebelum mencapai tirai dapur Mak Saodah sudah membentak kami. Kini suara bentakan itu tak kunjung datang. Aku menunduk di belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat tengkuk di bawah gelung rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya. Lehernya, siap menenggelamkanku. Aku agak mabuk, tak percaya. Sesaat bahkan kegirangan meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari-jari Aminah yang cantik menyibak tirai dapur.

Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak Saodah sedang bekerja, memotong-motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-bumbu ke dalam panci. Butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang ganjil dari semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan yang sedang dikerjakannya. Aku sempat tak awas karena Aminah menoleh ke arahku, ia sepertinya merasakan nafasku terlalu dekat, hangat di pipinya. Aku terkejut. Pada saat itulah aku berbisik, kelepasan bertanya. Pertanyaan yang lama kupendam dan kukira sudah tak akan kuajukan lagi.

”Minah, kenapa dulu kau menolak lamaranku?”

Aku tak ingat apakah Aminah sempat menjawab, sebab dari dalam dapur maknya membuatku terperangah.

Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi-tinggi, melewati lutut, lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai mendidih. Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian, mengerikan. Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, kudengar suara desing yang akrab dan gemericik air jatuh ke panci. Mak Saodah meludah lagi ke panci, sekali.

Desing dan gemericik itu belum selesai ketika mata Mak Saodah menusuk tajam, menatapku.

Sesudah tahlilan bubar, aku duduk di samping Wak Misnah. Sambil membantunya membagikan besek makanan, aku dipaksanya mendengar petuah lama. Petuah ini tak masuk akal dikatakannya saat ini, tapi tampaknya bibiku sedang ingin mengoceh tak karuan agar pikirannya tak dipusingkan persoalan. Dua anaknya baru saja mau saling bunuh, sore tadi.

Sungguhpun hapal luar kepala, kudapati bahwa tak pernah dua ajaran ini kupahami seperti sekarang. Pertama, bahwa ada 42 jenis gila manusia. ”Jika hendak kau pahami semuanya, ingat-ingat saja tindak-tanduk uwakmu, Haji Ismail almarhum.” Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ”Itulah kenapa kalian tak pernah paham. Jangan pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau nanti.”

Hidup diracun, menurutku, lebih ngeri.

----

Perempuan Sinting di Dapur by Ugoran Prasad

taken from http://cerpenkompas.wordpress.com/2008

No comments:

Post a Comment

jauh

duduk diam memandangimu yang berada di luar jarak pandang merekam lamunmu yang tak dapat kubaca, dan diammu yang tak dapat kuterka. seny...